“De, buka pintu!” teriak Wina. Dengan enggan Deri bangkit dari duduknya.
“Ada apa?” tanyanya sambil membuka pintu.
“Kabar gembira, De!” seru Wina. “Hentikan dulu pekerjaanmu,” sambungnya
sambil menyeret Deri untuk duduk di tempat tidur.
“Kabar apa seeh?” Deri bersungut-sungut. “Laporan itu harus segera aku
selesaikan, tahu!”
“Aduuuuh …. Berhenti sebentar kenapa seeh?”
“Iya deeh, iya. Ayo katakana, kabar apa?”
“Irwan mau kemari!” teriak Wina senang.
“Jangan bohong!” kata Deri tak percaya. Namun tak urung dadanya berdebardebar
juga mendengar berita itu.
“Benar! Aku baru saja menerima suratnya, biar kamu percaya,” sambungnya
sambil beranjak pergi. Sepeninggal Wina, Deri termenung sendiri.
“Aku tak akan menemuinya. Bukankah ia kemari untuk menemui Wina?” desah
hati Deri.
“De, ini bacalah!” ujar Wina yang sudah kembali sambil menyerahkan sepucuk
surat.
Deri langsung menerimanya. Dadanya berdegup kencang, tangannya gemetar.
“Ayo De, kamu harus tabah!” bisik hatinya berkali-kali, berusaha menenangkan
perasaannya. Lalu diterimanya surat itu dan dibacanya. Perasaan Deri tak menentu saat
membacanya. Di lubuk hatinya yang paling dalam ada rasa nyeri yang amat perih.
“Aku tak boleh cemburu, bukankah Irwan bukan milikku?” bisik hatinya lagi.
Deri menyerahkan surat itu kepada Wina lagi.
“Terus bagaimana?” tanyanya.
“Astaga, Deri, tentu saja itu urusanmu!” jawab Wina jengkel.
“Kok urusanku? Urusanmu dong. Minggu besok aku ada acara,” kata Deri.
“He?! Kamu tidak mau menemuinya?” Tanya Wina heran. Deri menggeleng.
“Apakah acara itu lebih penting?!”
“Tentu saja!”
“Apa acaramu itu?!”
deri tergagap mendengar pertanyaan Wina. Sebenarnya itu hanya alas an yang
bibuatnya untuk menghindari Irwan.
“Mau ketempat Maria.”
“Cuma mau main kau katakan penting?!” Wina benar-benar jengkel.
“Tidak main. Kami mau membuat analisa novel. Akhir bulan ini kan sudah harus
dikumpul,” jawab Deri tenang.
“Tapi …”
“Tidak ada tapi-tapian, Win. Aku pantang membatalkan janji.”
“Terus, bagaimana ini?”
“Alaaah … temui saja dia.”
“Kan malu kalau sendiri.”
Deri tertawa mendengar kata-kata Wina.
“Sejak kapan kau jadi pemalu, he? Kalau kamu malu kan bisa pakai topeng,” kata
Deri seenaknya. “Atau minta temani Nina, apa seeh susahnya?”
“Kalau dia menanyakanmu?”
“Mana mungkin? Tapi kalau ditanya juga, jawab saja apa adanya.”
“Rasanya tetap lucu De. Masak orang mau kencan denganmu kok aku yang
disuruh menemuinya?”
“Siapa bilang? Jelas-jelas ia kemari untuk melihat kamu yang asli, bukan dalam
foto. Tidak adil dong kalau begitu,” jawab Deri seraya bangkit. “Sudahlah. Sekarang aku
mau menyelesaikan pekerjaanku, jangan ganggu lagi.”
Dengan cemberut Wina terpaksa keluar dari kamar Deri.
“Selamat membuat laporan, kudoakan semoga tidak dikembalikan!” kata Wina
sebelum menutup pintu. Deri meringis.
***
Deri segera menyelesaikan pekerjaan rutinnya tiap minggu. Ia memperkirakan
Irwan akan datang agak siang, meskipun demikian ia tetap bekerja dengan terburu-buru.
Setelah beres semua, Deri merasa lega. Pasih pagi, pikirnya. Diikatnya rambutnya
yang sebahu itu menjadi ekor kuda, dipolesnya wajahnyadengan bedak tipis dan …
siaplah!
“Mau kemana mbak?” tanya Nina yang tiba-tiba sudah ada di belakang Deri.
“Mau kerumah temen. Nanti kalau mas Irwan jadi datang, temani mbak Win ya?”
“Mas Ir mau datang?” Tanya Nina dengan mata berbinar. Deri tersenyum dan
mengangguk.
“Wuih … Nina diperkenalkan dong?”
“Kalau Nina mau menemani mbak Win tentu saja Nina diperkenalkan pada mas
Irwan. Nina mau kan?”
Nina mengangguk.
“Terima kasih, Nina. Mbak pergi dulu ya?”
“Kok mbak Deri tidak mau menemui mas Ir?” tanya Nina. Deri terpaksa
menghentikan langkahnya. Jantungnya berdebar lebih kencang.
“Nina, Mbak sudah berjanji dengan Mbak Maria. Nina tahu kan, Mbak paling
benci ingkar janji?”
“Tapi kan … “ Nina tidak melanjutkan ucapannya.
“Tapi apa Nin?”
“Mas Irwan kemari kan mau bertemu dengan Mbak Deri?”
Deri tersenyum. “Siapa bilang? Mas Ir datang ke mari ingin bertemu Mbak Win
dan kenalan dengan Nina. Nah, mbak pergi dulu. Sudah terlambat nih!” Deri tidak mau
Nina mengetahui gejolak hatinya. Dia segera melangkah keluar diikuti pandangan heran
dari Nina.
Deri berjalan perlahan mengikuti kemana kakinya melangkah. Ia belum tahu ke
mana tujuannya untuk menghabiskan waktunya hari ini.
“Pak, ke Malioboro.” Deri memanggil tukang becak.
Di becak pikirannya menerawang kemana-mana. Ia teringat ucapan Nina. Ya, dari
Nina lah Deri mengetahui bahwa Wina juga menaruh hati pada Irwan. Mulanya Deri
tidak percaya. Mana mungkin Wina menyukai Irwan? Lihat wajah Irwan aja hanya di
foto, pikir Deri waktu itu.
“Ah, anak kecil tahu apa, “ katanya pada Nina.
“Enak saja kecil-kecil begini calon SMA lho, Mbak,” Nina bersungut-sungut.
“Nina tahu dari mana kalau Wina menyenangi Mas Ir?”
“Rahasia dong.”
“Tuh, bagaimana Mbak mau mempercayai kata-katamu kalau tanpa bukti?”
“Tapi janji ya, Mbak Deri tidak akan mengatakannya pada Mbak Wina, bahwa
Nina yang bilang…”
“Iya deh, Mbak janji. O ya, kapan Mbak Wina bilang begitu?” tanya Deri hati-hati
seraya menenagkan gejolak hatinya.
“Dulu, waktu Mas Ir kirim surat yang ada fotonya. Kata Mbak Wina: Nin, Mbak
Wina naksir deh sama Mas Ir, saying mas Ir milik Mbak Deri.”
“Ah, itu tidak benar Nin, Mas Irwan bukan apa-apanya Mbak Deri kok,” kata Deri
pada Nina. Namun sinar mata Nina seolah tak percaya.
“Turun dimana, Neng?” tanya tukang becak tiba-tiba membuyarkan lamunan deri.
“Eh … anu Pak … disini saja deh,” ujar Deri agak kikuk.
Setelah membayar ongkos, Deri melangkahkan kakinya menyusuri trotoar.
Pikirannya kembali mengembara. Dan ucapan Nina pun kembali terngiang-ngiang di
telinganya.
“Apakah Mbak Deri tidak takut kalau mas Ir di rebut Mbak Wina?”
Tentu saja takut, Nin. Aku memang menyenangi Irwan. Tapi, dia bukan milikku,
kata Deri dalam hati.
Tapi, sejak Nina mengatakan bahwa Wina menyukai Irwan, Deri berusaha
melupakan cowok itu. Dia tidak pernah lagi membalas surat-suratnya. Mula-mula
memang terasa sulit untuk menghapus bayang-bayang wajah Irwan dari benaknya.
Apalagi ketika dia hampir berhasil melupakannya, tiba-tiba saja Wina kemarin
mengatakan bahwa Irwan akan datang.
Selama ini Deri selalu menghindar dengan segala macam alasan bila Irwan
menanyakan tentang surat balasannya lewat Wina. Deri berharap semoga perhatian Irwan
jadi sepenuhnya kepada Wina. Sampai akhirnya Irwan tidak pernah menanyakan lagi.
Deri merasa lega. Namun tak dapat dipungkiri, jauh di lubuk hatinya, ia sering
merasa rindu pada Irwan. Ada rasa nyeri yang merasuki hatinya kalau mendengar Wina
bercerita tentang Irwan. Dalam hati ia sering merasa cemburu, namun cepat-cepat ia
membuang perasaan itu. Deri tidak ingin Wina mengetahui perasaannya yang
sebenarnya.
Meskipun Deri mencintai Irwan tapi ia lebih menyayangi Wina, sahabatnya dalam
suka dan duka. Di kota ini hanya Wina, Maria dan Ninalah sahabat-sahabatnya yang baik.
Deri tak ingin kehilangan mereka. Deri tak ingin menyakiti hati mereka, etrutama Wina.
Ia ingin selalu membahagiakannya. Apa pun rela dikorbankannya, termasuk perasaannya
sendiri.
“Nak Deri, Tante titip Wina ya. Ia anak perempuan Tante satu-satunya.
Usahakanlah agar ia selalu gembira dalam menjalani sisa-sisa hidupnya,” kata Tante
Herman, ibu Wina, kepadanya dulu.
“Maksud Tante?” Deri tak berani melanjutkan ucapannya.
“Paling lama usianya empat tahun lagi,” kata Tante Herman, suaranya hampir
berbisik.
Deri mengeluh seraya memandang wajah Tante Herman. Ia melihat ada sinar
duka pada matanya yang hitam. Deri kemudian teringat pada ibunya yang telah
meninggalkannya untuk selamanya.
“Percayalah, Tante. Insya Allah, Deri akan selalu membuat Wina gembira.”
“Sebenarnya, Tante ingin dia selalu berada di dekat Tante, tapi kemauannya
keras. Akhirnya kami mengijinkannya untuk tinggal di Djogja. Tante harus selalu
mengalah demi kebahagiaannya,” ujar Tante Herman. Suaranya terdengar sendu.
Ada rasa haru yang menyelusup kedalam sanubari Deri. Dalam hati pun ia
berjanji tak ingin membuat Wina bersedih.
“Deriii!” teriak seseorang seketika mengejutkan Deri. Ia menoleh kearah suara
yang memanggilnya.
“Maria!” serunya senang.
“kok melamun sambil jalan? Dari tadi aku panggil-panggil tidak dengar. Sampai
capek mulutku,” Maria bersungut-sungut.
“Sori …. Sori aku tidak tahu,” ujar Deri seraya tertawa-tawa.
“Aku tadi ke asramamu, tapi Nina bilang ada janji ke rumahku. Perasaanku…”
“Kita ke Mall yuk,” ajak Deri berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Benar neeh?”
“Kapan sih aku pernah bohong?”
“Tadi dengan Nina, apa namanya kalau bukan bohong?” sindir Maria. Dan ia
terkikik ketika melihat wajah Deri yang masam.
“Ada apa seeh dengan kamu, De?” selidik Maria.
“Tidak ada apa-apa kok.”
“Tuh kan, bohong lagi. Sejak kapan kamu punya hobi membohong?”
“Sudahlah, yuk ah,” ujar Deri seraya menarik lengan Maria.
Maria hanya mengangkat bahu seraya tersenyum-senyum melihat sikap Deri yang
aneh.
***
Deri baru saja kan membaringkan tubuhnya ketika Nina masuk kamarnya.
“Hei Mbak, mana dong oleh-olehnya?”
“Capek, mau?”
“Huh payah, masak oleh-olehnya capek,” Nina mencibir.
Deri tersenyum puas. “Kamu sih, setiap orang berpergian, nomor satu yang
ditanyakan pasti oleh-oleh. Mbak Deri tadi kan bukan pergi piknik.”
“Iya deh … iya. Mbak Deri menang,” rajuk Nina seraya membaringkan tubuhnya
di sisi Deri. “Mbak, Nina sudah kenal Mas Irwan,” kata Nina kemudian.
“OH ya? Bagaimana menurut Nina?”
“Wuah … bagaimana ya? Pokoknya bolehlah.”
“Setan kecil!” kata Deri sambil mendaratkan cubitannya di pipi Nina.
Tiba-tiba pintu kamar di buka. Deri dan Nina menoleh kearah pintu. Wina
tersenyum manis seraya melangkah memasuki kamar.
“Bagaimana Win, sukses kan?” Tanya Deri.
“Apanya yang sukses?”
“Alaaahh … kura-kura dalam perahu,” goda Deri. Wina jadi tersipu.
“Mau apa neeh monyet kecil ada di sini,” ujar Wina pada Nina.
“Mbak Win lihat, Nina sedang apa?” Nina balik bertanya.
“Iiiihh … monyet kecil ini pintar membalik pertanyaan ya.”
“Siapa yang mengajar? Mbak Wina kan?”
Deri ikut tertawa. Tiba-tiba timbul niatnya untuk menggoda Wina.
“Nin, Mbak Win, kelihatannya ceria sekali ya?”
“Uuuhh … dari tadi Nina juga sudah tahu. Mau tahu sebabnya?”
“Apa sebabnya, Nin?” Tanya Deri serius.
Sebelum bicara Nina melirik Wina dahulu. Ia tertawa melihat wajah Wina yang
memerah.
“Tadi, waktu Mas Irwan datang …”
“Hayo … ngomong terus deeh …,” Wina mencubit pipi Nina.
Nina mengaduh. Diusap-usapnya pipinya yang memerah. Mulutnya bersungutsungut.
Tapi ia melihat wajah Wina gelisah. Mungkin ada yang akan dibicarakan dengan
Mbak Deri secara rahasia, pikirnya.
“Kayaknya Mbak Wina mau ada bisnis dengan Mbak Deri ya? Nina keluar deh.
Kata Mbak Deri, kalau ada bisnis tujuh belas tahun keatas, Nina tidak boleh tahu!”
“Tidak usah keluar Nina, di sini saja. Tidak ada kamu sepi!” kata Wina.
“Memang Nina sempritan?! Tidak usah pura-pura deh, Nina tahu diri kok. Yuk,
selamat berbisnis!” ujar Nina seraya beranjak meninggalkan kamar. Sambil lalu
tangannya meraih majalah di atas meja belajar.
Deri dan Wina geleng-geleng kepala, tapi akhirnya mereka tertawa bersama.
“De, aku ingin bicara tapi kamu tidak marah kan?”
“Kenapa mesti marah?” ujar Deri, sementara hatinya berdebar-debar.
“Tadi, Mas Irwan mengajakku ke rumah kakaknya.”
“Ke rumah Mbak Yuni?” tanya Deri.
“Iya, tapi Irwan masak bilang pada Mbak Yuni, bahwa aku ini pacarnya. Aku
malu sekali, De. Irwan kan pacar kamu,” kata Wina. Ada nada sendu dalam suaranya.
“Wina … Wina …,” kata Deri seraya merangkul bahu sahabatnya. “Dengar Nona
manis, Irwan bukan apa-apaku, demikian pula sebaliknya. Hanya saja dulu keluargaku
dan keluarganya sering mengolok-olok kami. Tapi aku rasa mereka hanya main-main
saja. Dan itu karena rumah kami berdekatan. Tapi itu kan dulu. Sekarang tidak lagi.
Sungguh Win, kami tidak ada hubungan apa-apa. Kamu saja yang suka mengolok-olok
karena aku sering mendapat surat darinya.”
Lega rasanya hati Deri dapat bicara panjang lebar begitu. Dia sendiri merasa
heran dengan ketenangannya.
“Jadi … jadi kau bukan pacar Irwan. Kalian sungguh tidak ada apa-apa?”
“Percayalah padaku, Win.”
“Tadi aku bingung untuk menjawabnya. Aku pikir, Irwan adalah pacarmu. Dan
aku belum memberi jawaban padanya,” kata Wina lirih.
“Wina, berilah Irwan jawaban kalau kau memang mencintainya juga. Irwan pasti
sudah gelisah. Percayalah aku turut bahagia atas kebahagianmu.”
Ketika berkata demikian, Deri berusaha menguasai perasaannya. Ia tidak ingin
Wina mengetahui, bahwa ia pun mencintai Irwan. Biarlah aku menjadi orang munafik,
bisik hatinya. Namun aku bahagia karena telah membuat sisa hidup sahabatku berlalu
dengan indah. Seindah pelangi. Dan bagiku masih ada pelangi yang lain.